Rabu, 06 April 2011

MAHASISWA AKTIF

Saya tidak mengira bisa masuk di UGM dan diterima menjadi mahasiswa di jurusan sejarah. Menjadi mahasiswa UGM adalah impian saya sejak kecil. Sehingga saya tidak mau mensiasiakan kesempatan emas ini. Saya ingin menimba ilmu sebanyak-banyaknya di sini, tidak hanya mencari pangkat, melainkan juga wawasan dan kemampuan. Karena mahasiswa adalah penerus bangsa dan nasib bangsa esok ada ditangan kita.Menjadi Mahasiswa yang baik tidaklah mudah. Mahasiswa harus aktif, respect terhadap lingkungannya. Faktanya banyak para mahasiswa sukses dibidang akademika namun nol untuk lingkungannya. Terbukti saat ada kegiatan karang taruna kampung, kebanyakan yang aktif disitu adalah pemuda-pemudi bukan mahasiswa. Atau ini mungkin karena banyak diantara mereka yang kos? Namun dari mahasiswa yang kos pun sedikit yang aktif dalam organisasi. Mereka sibuk dengan urusan tugas dan bermain. Memang bermain itu perlu atau alangkah baiknya jika kita bermain sambil belajar. Mutakhir ini orang dituntut untuk melek media, kita harus dapat menggunakan media misal audio-visual untuk presentasi dan dokumentasi. Seorang mahasiswa humaniora atau sastra akan bagus jika menekuni hal tersebut toh selain juga aktif dalam media press.
Selain aktif mahasiswa juga perlu kreatif. Aktif tanpa kreatif rasanya seperti minum teh tanpa gula, jadi bersikap aktif berdampak baik namun kurang manis atau berhasil. Seorang yang kreatif akan mudah menyelesaiakan masalah demi masalah. Sifat kreatif ini sering dianggap sifat bawaan. Namun menurut saya itu tidak sepenuhnya benar. Yang mempengaruhi sifat ini adalah faktor lingkungan dan kebiasaan. Apabila kita membiasakan diri kita untuk mencari terobosan, inovatif kita akan dapat sifat itu. Sifat kreatif contohnya menggalang dana untuk kegiatan dengan mengadakan pentas seni dan penontonnya diharap menyumbang. Membuat blog komunitas angkatan yang memiliki koneksi ke universitas lain sehingga terjalin komunikasi aktif. Atau mungkin mengumpulkan tugas dengan media audio-video dalam VCD, tentunya ini untuk tugas seperti laporan kunjungan atau sejenisnya. Yang jelas tindakan kreatif jangan sampai mempersulit kita.
Sifat kreatif melahirkan sikap kritis yang diperlukan seorang mahasiswa. Saya memang belum mempunyai sikap kritis. Namun saya bertekad untuk memilikinya. Karena dengan bertindak semacam tu akan memperkuat pendirian dan mental kita.

Satu lagi sifat yang harus dimiliki setiap mahasiswa adalah berakhlak mulia. Menjadi pintar tanpa akhlak yang baik malah akan membahayakan. Korupsi mungkin menjadi bukti gagalnya pendidikan akhlak. Atau yang lebih dekat misalnya tawuran antar mahasiswa, skandal, narkoba dll. merupakan catatan hitam dalam dunia mahasiswa. Penyebab dari itu semua adalah kurangnya perhatian moral pada mahasiswa. Namun untuk meluruskannya sulit, perlu kesadaran dari diri masing-masing. Mahasiswa tidak hanya mementingkan akademik semata namun juga perlu spiritual. Selain itu kita juga harus memiliki rasa kebersamaan, tenggang rasa dan saling bantu membantu agar terjalin hubungan baik antar mahasiswa. Jadi No anarki, No tawuran just peace lovers. Hidup Mahasiswa.

SLIDE

Berikut ini adalah kisah Slamet Suradio, Masinis KA dalam Tragedi Bintaro 1987. Artikel dikutip dari jppn.
TABRAKAN maut KA Argo Bromo Anggrek dengan KA Senja Utama di Stasiun Petarukan, Pemalang, Jawa Tengah, Sabtu lalu mengingatkan masyarakat akan peristiwa semacam pada 1987. Saat itu, 19 Oktober 1987, KA 225 (Rangkasbitung-Jakarta Kota) yang dimasinisi Slamet Suradio bertabrakan secara frontal dengan KA 220 (Tanah Abang-Merak) di kawasan Bintaro, Tangerang.
Akibatnya, 156 orang tewas mengenaskan dan sekitar 300 korban lain mengalami luka-luka. Tragedi Bintaro itu dinilai sebagai kecelakaan terburuk dalam sejarah perkeretaapian Indonesia.
Slamet lalu ditetapkan sebagai salah seorang tersangka dalam insiden tersebut. Dia akhirnya divonis lima tahun penjara. Dia dianggap bersalah. Selain Slamet menjalani hukuman di balik terali besi, karir sebagai masinis langsung mandek. Dia diberhentikan dari pekerjaan itu. Setelah menuntaskan hukuman, dia memilih pulang ke kampung halaman di Purworejo.
Slamet kini tinggal di sebuah rumah sederhana di Dusun Krajan Kidul, RT 02/RW 02 Desa Gintungan, Kecamatan Gebang, Kabupaten Purworejo. Dia menghabiskan sisa hidupnya dalam kemiskinan dengan berjualan rokok eceran di rumah itu.
“Hingga kini saya masih sering trauma dan miris jika mendengar kabar kecelakaan kereta api. Sebagai mantan masinis, saya bisa membayangkan apa yang dirasakan oleh seorang masinis yang mendapatkan musibah hebat seperti itu,” kenang dia.
Saat ditemui Radar Jogja (Grup JPNN) di rumah tersebut, lelaki lanjut usia itu masih mampu mengingat dengan jelas detail tragedi Bintaro yang melibatkan dirinya. Slamet mengisahkan, tragedi Bintaro terjadi Senin Pon, 19 Oktober 1987, pukul 07.30. Saat kejadian, Slamet berada di lokomotif KRD 225.
Di depannya, di rel yang sama, muncul KA 220 yang melaju dari Tanah Abang menuju Merak. Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh Slamet saat maut berada di depan matanya. Dia hanya mampu mengucapkan astagfirullahaladzim berulang-ulang sambil mencoba sekuat tenaga mengerem dan membunyikan “klakson” kereta.
Slamet baru tersadar ketika sudah berada di ruang ICU RS Kramat Jati dengan luka-luka di sekujur tubuh. Kaki kanannya patah. Kulit pinggulnya sobek. Selain itu, semua giginya rontok gara-gara terhantam handle rem kereta. Begitu tabrakan terjadi, tubuh Slamet terlempar hingga belakang jok masinis.
“Saya melihat sinyal aman ketika memasuki halte Pondok Bitung. Namun, secara bersamaan, dari arah berlawanan tiba-tiba muncul KA 220, lalu derrr…! Tabrakan maut itu tidak bisa terhindarkan,” tutur dia.
Kecepatan kereta yang dikemudikan oleh Slamet saat itu sekitar 40 km/jam. “Saya langsung tidak sadar dengan luka-luka di banyak bagian. Saya baru sadar ketika berada di rumah sakit,” ungkap pria yang pernah tercatat sebagai pegawai negeri sipil dengan NIP 120033237 itu.
Selaku mantan masinis, Slamet secara gamblang bisa membayangkan apa yang dirasakan oleh masinis KA Argo Bromo Anggrek M. Halik Rusdianto, yang bernasib serupa dengannya. “Dalam setiap kecelakaan KA, masinis selalu menjadi kambing hitam utama. Pertimbangannya, perannya sangat vital. Saya yakin bahwa Pak Halik pasti mendapatkan interogasi panjang setelah kejadian,” tuturnya.
Untuk itu, Slamet berpesan kepada Halik untuk menceritakan apa adanya. “Setahu saya, seorang masinis baru menjalankan kereta atau memasuki stasiun ketika ada sinyal aman dari petugas pemberitahuan tentang persilangan (PTP),” tambah dia.
“Jika itu yang terjadi di Petarukan, Pemalang, secara pribadi saya tidak terima kalau masinis dikambinghitamkan. Jika diminta menjadi saksi ahli dalam sidang nanti, saya bersedia,” ungkap bapak yang ke mana-mana selalu membawa surat-surat penting kenangannya selama menjadi masinis dan dokumen proses peradilan yang menjadikannya terdakwa dalam tragedi Bintaro itu.
MENCARI Slamet Suradio di Purworejo memang tidak mudah. Radar Jogja (Grup JPNN) tak punya alamat detail rumahnya. Bahkan, nama masinis yang pernah menggemparkan Indonesia itu tidak terdata di PT KA (Kereta Api) Kutoarjo.
Petugas di Stasiun Besar Kutoarjo malah terkejut saat diberita tahu bahwa masinis KA 225 (Rangkasbitung-Jakarta) yang terlibat tabrakan dengan KA 220 (Tanah Abang-Merak) dan menewaskan 156 orang itu tinggal di Purworejo.
Alamat Slamet akhirnya ditemukan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Purworejo. Slamet Suradio tercatat sebagai warga RT 01, RW 02, Dusun Krajan Kidul, Desa Gintungan, Kecamatan Gebang, Purworejo.
Saat didatangi di rumahnya Senin (4/10), laki-laki yang oleh warga sekitar lebih akrab disapa Slamet Bintaro itu sedang tidak ada. Rumahnya sepi. Tetangganya memberi tahu bahwa Slamet sedang berjualan rokok keliling di perempatan besar dekat BRI Cabang Kutoarjo (bukan berjualan rokok di rumah seperti diberitakan kemarin, Red).
Tapi, ketika pangkalan Slamet didatangi, bapak tiga anak itu ternyata sudah pergi. “Wong, barusan dia di sini. Mungkin masih di sekitar sini saja,” kata seorang tukang becak.
“Lha itu” orang yang pakai baju biru berjalan ke timur. Ya, itu Slamet Bintaro,” tambah si tukang becak sambil menunjuk ke arah pria gaek yang berjalan sambil membawa kotak rokok di dadanya.
Slamet yang mengenakan baju biru lusuh dan topi biru berjalan di trotoar dengan tertatih-tatih. Di pundaknya tergantung tas berisi beberapa bungkus rokok yang dijual keliling. Dia kaget ketika disapa dengan nama “Slamet Bintaro”.
Namun, setelah diajak makan di sebuah warung, dengan antusias Slamet menceritakan tragedi kecelakaan kereta yang terjadi pada Senin Pon, 19 Oktober 1987, pukul 07.30 tersebut. Tabrakan frontal dua KA itu dianggap sebagai kecelakaan terburuk dalam sejarah perkeretaapian Indonesia. Selain menewaskan 156 orang, tabrakan tersebut melukai sekitar 300 penumpang lainnya.
Dalam kasus itu, Slamet akhirnya dihukum lima tahun penjara. Begitu bebas dari Lapas Cipinang pada 1993, Slamet masih boleh ngantor, meski hanya disuruh apel pagi. Namun, pada 1994, dia diberhentikan dengan tidak hormat. Secara otomatis dia tidak mendapatkan uang pensiun. Padahal, Slamet mulai mengabdi di PJKA (kini PT KA, Red) sejak 1964 dan mulai 1971 menjadi masinis.
“Pengabdian saya selama puluhan tahun seperti tidak berarti,” ujar suami Tuginem, 45, itu dengan nada kelu. Tuginem merupakan istri kedua Slamet. Istri pertamanya, Kasmi, kawin lagi dengan masinis kawan Slamet ketika laki-laki berkulit hitam legam itu menjalani hukuman di Lapas Cipinang.
Slamet kemudian membongkar isi tas cangklongnya. Selain rokok, ternyata Slamet ke mana-mana membawa “surat-surat penting” yang menjadi saksi bisu pengabdian dirinya sebagai masinis. Di antaranya, surat tanda pengenal masinis dan surat pemberhentian dirinya oleh Kementerian Perhubungan.
Dia tampak terluka. Selain merasa menjadi kambing hitam dalam tragedi Bintaro, dia mendapatkan tekanan dari mana-mana. Dia menjalani pemeriksaan yang melelahkan dan membuatnya stres.
Dia juga tiga kali pindah rumah sakit saat menjalani pengobatan luka-luka akibat kecelakaan itu. Pertama, dia dirawat di RS Pelni Jakarta. Namun, lantaran mendapat teror dari massa “korban Bintaro”, Slamet kemudian diamankan dan dipindahkan ke RS Cipto Mangunkusumo, sebelum dipindah lagi ke RS Kramat Jati.
Di ICU RS Kramat Jati, Slamet dirawat tiga bulan. Selama menjalani perawatan itu, dia masih sering dimintai keterangan oleh aparat kepolisian. “Bahkan, saya pernah diinterograsi dengan todongan pistol agar mengakui apa yang tidak saya lakukan. Namun, saya tetap kukuh karena saya menjalankan kereta setelah mendapat sinyal aman ketika masuk Bintaro. Saya sempat bilang, tembak saja Pak. Saya rela mati karena saya merasa tidak melakukan kesalahan,” paparnya mengenang.
Meski demikian, Slamet Bintaro tetap menjadi terdakwa. Jaksa penuntut umum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan saat itu menuntut Slamet dengan hukuman 14 tahun penjara. Namun, hakim menjatuhi hukuman 5 tahun penjara.
Setelah bebas dari Lapas Cipinang, Slamet Bintaro pulang ke kampung halaman, menemani istrinya yang bekerja sebagai buruh dan perajin emping. Slamet memilih berprofesi menjadi pengasong rokok keliling untuk mengisi hari-harinya.
Di perempatan BRI Kutoarjo yang letaknya tidak jauh dari Stasiun Kutoarjo, saban hari dia dia menghabiskan waktu bersama para tukang becak dan tukang ojek yang mangkal di situ.
“Yang penting, pekerjaan saya halal. Saya tidak mencuri dan korupsi,” tutur Slamet yang sehari rata-rata hanya mendapatkan penghasilan sekitar Rp 5.000.